Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Komisi VIII Minta Kebijakan Sertifikasi Halal Self-Declare Memihak Pelaku Usaha Mikro dan Kecil

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/faisal-aristama-1'>FAISAL ARISTAMA</a>
LAPORAN: FAISAL ARISTAMA
  • Sabtu, 15 Oktober 2022, 21:44 WIB
Komisi VIII Minta Kebijakan Sertifikasi Halal Self-Declare Memihak Pelaku Usaha Mikro dan Kecil
Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf/Net
rmol news logo Terdapat sejumlah kendala dalam percepatan sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil. Salah satunya, ketimpangan dalam praktik self-declare sertifikasi halal antara pelaku usaha besar dan pelaku usaha kecil dari segi kriteria.

“Terkait kriteria pelaku usaha yang bisa melakukan self-declare harus mempertimbangkan dari sisi permodalan juga, tidak hanya aspek kemasan saja," kata anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf dalam keterangannya, Sabtu (15/10).

Dia mencontohkan, seperti pelaku usaha penjual atau tukang bakso tidak bisa melakukan self-declare karena mereka harus melalui Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dengan dikenakan biaya atau berbayar.

Bukhori melanjutkan, modal mereka cuma berkisar Rp 1,5 sampai dengan Rp 2 juta. Sebaliknya, pelaku usaha besar dengan nilai kapital besar yang bisa mencapai Rp 2 miliar semisal pabrik roti bisa dengan mudah melakukan self-declare.

Anggota Badan Legislasi ini mengungkapkan, praktik tersebut sebenarnya tidak sejalan dengan semangat UU Jaminan Produk Halal (UU JPH) yang telah diubah melalui UU Cipta Kerja. Karena itu dia mendorong agar kebijakan self-declare memudahkan pelaku usaha kecil dalam memperoleh sertifikat halal.

“Awalnya, usulan klausul self-declare dalam UU JPH versi Cipta Kerja itu bertujuan untuk memudahkan pelaku usaha kecil dalam memperoleh sertifikat halal. Suasana kebatinan ini yang kita bela saat pembahasan RUU Ciptaker di Baleg bersama pemerintah," terangnya.

"Namun sangat disayangkan bahwa dalam praktiknya justru bertolak belakang dengan suasana kebatinan UU tersebut,” sesalnya.

Anggota DPR RI Dapil Jateng I ini menjelaskan, kendala selanjutnya adalah jumlah rumah pemotongan hewan seperti Rumah Pemotongan Ayam (RPA), Rumah Pemotongan Unggas (RPU), dan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) yang tersertifikasi halal masih terbilang sedikit.

Legislator PKS ini menambahkan, selain minimnya jumlah rumah pemotongan hewan yang telah bersertifikat halal, minimnya jumlah Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang di dalamnya terdapat auditor dan penyelia halal serta kebijakan penerbitan fatwa yang terpusat juga menjadi kendala lain.

“LPH itu jumlahnya cuma sedikit dan ini ada kaitannya dengan Majelis Ulama Indonesia. Sebab, untuk bisa lulus menjadi penyelia dan auditor itu pasti perlu melalui pelatihan dan uji kompetensi yang diselenggarakan oleh MUI,” katanya.

Sementara masih terkait dengan MUI, lanjutnya, dia berharap ada satu terobosan baru oleh MUI terkait kebijakan penerbitan fatwa yang selama ini masih terpusat mengingat pelaku usaha yang perlu melakukan sertifikasi halal tersebar di seluruh Indonesia. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA