Hal itu disampaikan pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, Selasa (1/11).
Menurut Jamiluddin, ada tiga hal yang menjadi konsekuensi menteri boleh maju pada pilpres cukup atas seizin presiden.
Pertama, kalau menteri tidak mundur, maka peluang kinerja menurun sangat besar. Sebab, pada saat yang sama sang menteri memikirkan dan melaksanakan dua tugas dan fungsi yang berbeda.
Pandangan Jamiluddin, menteri yang juga manusia tentu mempunyai keterbatasan baik pemikiran maupun fisik.
"Karena itu, sulit membayangkan bila sang menteri mampu melaksanakan tugas dan fungsi berbeda dalam waktu yang sama menghasilkan kinerja yang tinggi," demikian pendapat Jamiluddin kepada
Kantor Berita Politik RMOL.
Konsekuensi kedua, peluang konflik kepentingan sangat besar akan terjadi. Analisa Jamiluddin, menteri akan sulit menempatkan kepentingannya sebagai menteri dan sebagai capres/cawapres dalam porsi yang sama.
Kecenderungannya, menteri akan mendahulukan kepentingan partainya untuk memenangkan Pilpres daripada kepentingannya sebagai menteri.
"Mendudukan dua kepentingan itu dalam porsi yang sama kiranya mudah diucapkan tapi tidak mudah dilaksanakan," demikian kata Jamiluddin.
Mantan Dekan Fikom IISIP Jakarta ini melihat, konsekuensi ketiga dari menteri tidak mundur saat nyapres adalah membuka peluang korupsi. Korupsi di sini tidak hanya dalam bentuk anggaran tapi juga waktu.
'Padahal sumpah seorang menteri didedikasikan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya. Itu artinya, semua waktu diperuntukkan untuk melaksanakan tugas dan fungsi seorang menteri," pungkas Jamiluddin.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: