Hal itu disampaikan Anggota Bawaslu Puadi, Senin (12/12). Mantan Anggota Bawaslu DKI Jakarta itu mewanti-wanti potensi terjadinya politik transaksional.
“Seperti suap politik atau politik uang yang selalu terjadi dalam penyelenggaraan pemilu,†kata Puadi, Senin (12/12).
Puadi menjelaskan, orientasi ketokohan memiliki pengaruh terhadap pola pembiayaan kampanye. Menurutnya, pola ketokohan yang cenderung mengandalkan sumber pembiayaan dari individu daripada dari organisasi pengusung atau partai politik.
Dalam praktiknya, kata Puadi, apa yang dicatat dan dilaporkan sebagai sumbangan dana kampanye oleh peserta pemilu tidak mencerminkan biaya sesungguhnya yang dikeluarkan oleh peserta pemilu.
Di sisi yang lain, tambah Koordinator divisi penanganan pelanggaran, data dan informasi Bawaslu ini, peranan akuntan publik yang ditunjuk oleh KPU untuk mengaudit dana kampanye, hanya melakukan audit sebatas pada dana sumbangan yang dilaporkan oleh peserta pemilu.
Akuntan yang melakukan audit, jelas Puadi, idak menjangkau pada kegiatan atau pengeluaran riil yang dilakukan.
“Dana siluman tidak terdeteksi. Jumlahnya tidak seimbang dengan data yang dilaporkan oleh peserta pemilu. Ke depan Bawaslu akan merancang kerangka pengawasan terhadap persoalan tersebut,†ungkapnya.
Puadi mengimbau para peserta pemilu harus mengutamakan ide-ide dan program ketika melakukan kampanye pada pada kontetasi Pemilu 2024 mendatang.
Ia mencatat, pada pemilu sebelumnya, pola kampanye lebih masih mengarah kepada pencitraan ketokohan individu.
“Saya berharap pada pemilu dan pemilihan ke depan ada perubahan pola kampanye yang dilakukan oleh peserta pemilu,†pungkasnya.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: