Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tetap Ingin Proporsional Terbuka, PAN Ungkit Lagi Keputusan MK Tahun 2008

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/faisal-aristama-1'>FAISAL ARISTAMA</a>
LAPORAN: FAISAL ARISTAMA
  • Jumat, 30 Desember 2022, 12:34 WIB
Tetap Ingin Proporsional Terbuka, PAN Ungkit Lagi Keputusan MK Tahun 2008
Ketua Fraksi PAN DPR RI Saleh Partaonan Daulay/Net
rmol news logo Wacana sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024 yang dilontarkan Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari menuai kritik. Walaupun dalam wacana itu, Hasyim berdalih masih menunggu proses sidang yang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK).
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Ketua Fraksi PAN DPR RI Saleh Partaonan Daulay meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk berhati-hati dalam memutuskan perkara penggunaan sistem Pemilu 2024. MK harus berdiri secara tegak dan adil dalam mengadili perkara tersebut. Jangan sampai ada dugaan bahwa MK cenderung tidak berlaku adil karena lebih memilih salah satu sistem daripada yang lainnya.

Dia mengurai bahwa sejak 2008, sistem pemilu yang dipakai adalah sistem proporsional terbuka. Sistem tersebut diberlakukan sebagai bentuk ketaatan kepada putusan MK tanggal 23 Desember 2008. Keputusan ini menyatakan bahwa pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan begitu, MK menyatakan bahwa sistem pemilu yang digunakan adalah sistem suara terbanyak.

"Keputusan MK itu sudah benar. Buktinya, sudah dipakai berulang kali dalam pemilu kita. Setidaknya pada pemilu 2009, 2014, dan 2019. Sejauh ini tidak ada kendala apapun. Masyarakat menerimanya dengan baik. Partisipasi politik anggota masyarakat juga tinggi. Sebab, dengan sistem itu, siapa pun berpeluang untuk menang. Tidak hanya yang menempati nomor urut teratas,” tegas Saleh kepada wartawan, Jumat (30/12).

Saleh mengingatkan, dalam pertimbangan majelis, Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi pernah menyampaikan argumen bahwa sistem penetapan anggota legislatif berdasarkan nomor urut bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin konstitusi.

Hal tersebut merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat. Sebab, kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif.

Tak hanya itu, Hakim Konstitusi Arsyad kala itu mengatakan bahwa dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak. Menurutnya, memberlakukan sistem nomor urut berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai pilihannya. Selain itu, sistem ini telah mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih.

"Argumen itu jelas tertuang dalam pertimbangan hukum majelis ketika itu. Tentu sangat aneh, jika argumen bagus dan rasional seperti itu dikalahkan. Apalagi, putusan MK itu kan sifatnya final dan mengikat,” pungkas Anggota Komisi IX DPR RI ini. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA